Ini bukan hanya pikiranku, bukan juga khayalanku.
Hanya bagaimana aku menganggap “kami” begitu indah.
Jauh hari kami persiapkan hari ini. Dari jauh hari pula kami berdebat tentang arah dan tujuan. Hingga akhirnya kami putuskan untuk bertatap muka di tempat kenangan. Di tempat dimana kami memulai semua ini. Memulai semua kegilaan, canda, tawa, dan segala hal yang tak dapat kami prediksikan sebelumnya.
Dia, duduk disana, sendiri menungguku. Lancang kali aku yang pada malam sebelumnya memohon padanya agar menemaniku bersama, tepat jam 8 pagi. Omong kosong, aku baru bangun jam 7 pagi. Akulah orang yang menerapkan asas jam karet paling terkenal di negara ini. Untung saja matahari tak pernah menggunakan jam karet untuk menyapa setiap pagi di negara ini, atau mungkin bukan pagi lagi namanya kalau ia gunakan jam karetnya.
Aku, datang dengan nafas tersengal, namun memaksakan memamerkan cengiran kuda andalanku yang super lebar. Entah apa ekspresinya. Mataku buram. Syukurlah, aku tak lihat alisnya yang mungkin mengkerut karena cengiran maut itu.
Berdua, kami menunggu seorang lagi. Dalam selang waktu yang tak panjang itu aku memperkenalkan diriku kembali padanya. Begitupun dia. Cukup lama mata kami tak bertemu, kurang lebih 2,5 tahun. Tak menyangka, kami tetap sama, dalam beberapa cara. Namun jauh berbeda, dalam lebih banyak cara.
Berdua, kami tak punya hal yang layak untuk diperbincangkan. Tak apa, biar saja. Namun tak pernah kusangka, lidah ini lebih liar dari yang kukira. Lebih spontan daripada otak yang mengendalikannya. Satu, dua, tiga, dan seterusnya topik mengalir tak hentinya dari mulut besarku ini. Tak sadar, ternyata yang kami tunggu telah tiba.
Bertiga, kami dalam sebuah atmosfir aneh, yang tak sengaja kami ciptakan. Tak butuh waktu lebih dari 2 menit untuk merubah atmosfirnya. Kami mulai memasuki gerbang euforia kami. Canda tawa mengalir setiap 20 detik sekali. Betapa indahnya dunia ini. Walau dengan bodohnya, kami belum punya tujuan. Tak apa, biar saja.
Ya, akhirnya kami tetapkan tujuan. Kembali, dengan bodohnya, kami tak tahu arah. Tak apa, biar saja. Biar angin yang membawa kami. Biarkan kemudi itu tak terkendali, membawa kami sesuka hatinya. Berkelok-kelok dihadapan awan yang tak ada malunya menunjukkan keindahan. Membuat aku iri dengan persahabatannya dengan cahaya mentari, yang selalu menciptakan celah indah bersinar.
Cukup sudah! Seberapa jauh kita berjalan? Mesin ini terbunuh, terbakar, berteriak. Tak juga kami sampai tujuan. Tak juga kami tahu arah. Apa kami perduli? Tidak. Karena kami lebih meng-adakan rasa. Rasa bahagia saat kami bersama. Penuh dengan sindiran, berbagai hal konyol dan tak penting. Namun selalu memanggil tawa yang membahana.
Sampai akhirnya, setelah kami mendaki cukup tinggi, tibalah kami di titik kejenuhan. Jenuh akan tersesat. Cukup sudah! Lebih baik kita bertanya. Tapi malu bertanya sesat di jalan bukan peribahasa yang cocok bagi kami. Aku lebih suka ”malas bertanya sesat di jalan”. Itu jauh lebih cocok untuk kami.
Setelah mendaki gunung kejenuhan, mengarungi lautan kelelahan, kami tiba di tujuan. Lekatnya hal-hal bodoh di tubuh kami tak mau lepas, kini kami bertanya-tanya, apa yang harus kami lakukan. Tak apa, biar saja. Kami putuskan untuk masuk dan berkeliling tanpa tujuan yang jelas.
Dari sini ke sana, dari sana ke sini. Tak ada yang menarik. Sampai akhirnya mereka membawaku ke suatu tempat. TIDAK! ITU BUKAN BATU! TIDAK! Bukan hanya onggokan daging biasa. Bukan! ITU KOMODO! TIDAAAAAK!
Bersyukurlah aku tidak menangis, atau akan kulempar kalian dengan batu! Namun kuakui harus kuucapkan terima kasih pada kalian. Jangan tanya padaku terima kasih itu ditujukan untuk apa. Aku juga tak tahu, tak peduli. Tak apa, biar saja.
Bosan disitu, kami pergi. Bertemu saudara-saudara dan teman lama kami. Tak kami sangka kini mereka begitu anggun di tempat-tempat tinggi itu. Bersama dedaunan dan semak belukar. Namun aku senang berada disini. Mereka mirip kami! Hahaha. Dan salah satu dari mereka mirip teman kami. Kami tak bermaksud apapun, kami hanya memiliki pemikiran yang sama. Tak apa, biar saja, tak dosa.
Aku, maaf, kami lapar. Kami mencari-cari tempat dimana cacing-cacing di perut kami bisa merasakan kebahagiaan. Mengenaskan, tak ada yang layak. Maksudku, tak layak untuk kantong kami. Ehm, maaf, seingatku kami tak punya kantong saat itu. Baiklah, tak layak untuk dompet kami.
Salah satu dari kami berkata bahwa sedari tadi ada banyak pasang mata yang tertuju pada kami. Kami? Tidak perduli. Biarkan saja mereka pandang kami. Lalu memangnya kenapa? Toh kami sudah mengaduk-aduk diri kami dalam adonan euforia dosis tinggi ini. Tak akan perduli juga tentang apa yang sedang dan akan terjadi. Kami hanya bahagia.
Tak punya tujuan dan tak tentu arah. Kami hanya berkeliling disana seperti bocah yang dibuang di tengah gurun Sahara. Sampai akhirnya kami lelah dan beristirahat. Kami terduduk lelah, lalu menikmati angin yang berhembus. Dibarengi dengan suara penjinak anjing yang sangat kubenci. Siapa yang bilang itu suara penjinak anjing? Temanku.
Ya, temanku yang duduk di atas sebuah makam yang mengatakannya. Itupun tak dia sadari sampai akhirnya kami memberitahunya bahwa ia meduduki makam Monalisa dan Juminten. Tak kusangka sebuah legenda bersemayam di tempat seperti ini. Dia hanya tertawa dan terus menduduki segala kepalsuan itu.
Yasudah! Kita pulang saja! Biarkan kaki ini lemas berjalan. Lemas untuk berjalan ke pintu keluar.
Bersama kami terkurung disini. Terkurung dalam tawa dan lelucon gila. Kadang masuk akal, kadang tak sampai ke logika, kadang sedikit dewasa. Itu semua karena desahan mautku, yang mengacaukan konsentrasi mereka. Maaf, aku tak bermaksud begitu.
Betapa rindunya kami pada hari ini. Kami harus menunggu 2,5 tahun untuk merasakan betapa bahagianya setiap detik yang kami lalui bersama hari ini. Bersama alunan musik yang kami tak kenal.
Tapi, sangat disayangkan bahwa waktu tak bisa dihentikan. Kami harus berpisah. Melepaskan ikatan yang menyatukan tangan kami dalam genggaman kebahagiaan. Dalam ikatan bodoh yang selalu membawa tawa yang menggemparkan otak kami.
Malam dan waktu yang memisahkan kami hari ini. Tak apa, biar saja. Kami akan melakukan hal-hal bodoh lagi di lain hari. Hingga kami pergi, terpisah, dan meninggalkan bekas dalam ingatan kami. Bahwa kami saling menyayangi, dalam bentuk sayang yang seindah-indahnya.
Hari ini, kenangan, tawa, kami.
GUE SENENG HARI INI!!!!!!
Jya~