Ini hanya pikiranku.
Hanya bagaimana aku menceritakan tentang dia dan aku. Bukan, bukan kami ataupun kita.
Siang ini panas, panas sekali. Namun aku hanya berkutat di dapur, mencari-cari makanan, barangkali ada sesuatu yang layak makan. Hingga akhirnya deringan telepon genggamku membuyarkan pikiranku, lamunanku mungkin.
Hanya sebuah pesan singkat. Benar-benar singkat, karena memang hanya dua kata. Dua kata yang biasa terlontar darinya, seperti nyanyian burung di pagi yang cerah. Tak repot-repot, aku membalasnya dengan dua kata yang sama artinya.
Entah apa yang terjadi, apa yang telah dia dan aku lakukan hingga akhirnya kita menelusuri jalan bersama. Tidak ada kesunyian memang, dia dan aku saling berbagi lelucon. Cerita tentang beberapa temanpun sempat singgah menjadi topik.
Dia dan aku terus, terus, dan terus menenggelamkan diri dalam euforia dua manusia yang tertawa bersama. Melupakan udara yang pengap disekitar. Tak juga memperhatikan manakala disampingku ada beberapa pasang mata yang mengawasi.
Hingga akhirnya butiran-butiran kecil air jatuh dari langit. Menepis lapisan debu tipis di atas jendela di depan matanya, juga mataku. Bukan mata kami. Lalu udara berubah sejuk. Membuatku tertawa kecil karena senang. Tak juga dia mendengar tawaku, karena dia dan aku memang menganggapnya bukan keadaan.
Sempat dia menantangku. Aku pun tak takut dengan tantangan-tantangannya. Bukan berarti aku berjiwa pemberani atau apa. Hanya saja aku tak peduli. Biar saja, tak apa. Toh, belum tentu sebulan sekali dia dan aku berbagi suara.
Hingga dia dan aku melewati batas teritori dan memasuki daerah baru. Tak tahu apa yang akan dia dan aku lakukan disana. Berbagi lelucon? Lagi?
Pada akhirnya memang itu yang dia dan aku lakukan. Bercerita tentang pengembaraan dan berbagai hal lainnya yang tak penting juga untuk dia ataupun aku dengar. Namun biar saja, tak apa. Gelak tawa yang biasa mungkin sudah jadi basi. Biar saja, tak apa. Toh dia dan aku tak akan pernah tahu apakah tawa yang mungkin sudah basi itu asli atau palsu.
Berpindah lagi kami ke lain tempat, tempat tinggi yang bagai tak berbatas. Aku senang berada disana, dan juga dia, ternyata. Aku selalu suka langit, atau awan? Bukan yang putih, atau yang biru. Aku suka berbagai perpaduan warnanya. Ungu dengan semburat keemasan, maupun biru yang ditimpali warna putih yang berarak. Bagaimana dengan kelabu? Aku juga suka.
Sembari duduk bersama, dia dan aku membayangkan berbagai hal yang tidak masuk akal. Sungguh tak masuk dalam akal pikir orang yang normal. Namun selalu saja diakhiri dengan tawa yang menggelegar. Dia dan aku tak peduli, walaupun disana ada seseorang yang memperhatikan gerak-gerik dia dan aku. Entah orang itu berpikir apa, yang jelas aku hanya menyikapinya dengan tawa kecil dan cengiran selebar mulut kuda.
Cukup lama kuhabiskan waktu bersamanya disana, akhirnya aku mengajaknya pergi. Dengan gontai dia dan aku berjalan beriringan, memasuki kembali sebuah teritori yang bertembok tinggi. Dia dan aku dikepung! Dan saat itu juga baru kusadari, ternyata perubahan ekspresi dalam wajahku sangat jelas terlihat. Hampir saja wajahku merah dibuatnya. Tapi biar saja, tak apa.
Kembali dia dan aku tenggelam dalam kisah-kisah dan berbagai rencana gila. Hingga akhirnya aku terus berpikir, kapankah semua ini kembali normal? Atau setidaknya, adakah hal normal yang seharusnya dapat dia dan aku perbincangkan? Mungkin tidak. Yasudah biar saja, tak apa.
Tiba-tiba aku melakukan kesalahan fatal. Inilah pembicaraan normal bagi orang normal, namun paling abnormal bagi dia dan aku. Aku sangat berharap aku dapat menarik kembali kata-kataku, lalu menghapus ingatannya. Sayangnya, ini bukan dunia khayalan.
Aku terlanjur mengatakannya dan dia terlanjur mendengarnya. Lanjutkanlah pembicaraan ini, mumpung belum basi. Sampai akhirnya aku membiarkan dia tau apa pikiranku. Sampai akhirnya aku membiarkan dia tau bahwa aku sudah tau apa pikirannya. Sampai akhirnya aku membuat dia dan aku menyesal.
Namun tak ada yang berguna, karena sudah terlewat sekian variabel dan sekian koefisien. Sekarang dia dan aku hanya saling tau kalau dia dan aku memang sekarang sudah tau tentang yang satu itu. Memang tak berguna, itu dosa besar bagiku.
Sempat aku memintanya untuk melupakan apa yang telah dia dan aku bicarakan tadi. Namun sialnya dia hanya menyuruhku melupakannya, dan aku tak tau apakah dia berniat melupakannya atau hanya akan membiarkan pembicaraan sampah itu mengendap di otaknya.
Sudahlah biar saja, tak apa. Tak rela aku katakan kalimat itu.
Dan sekarang, dia pergi. Meninggalkan aku dalam sebuah daerah yang membuatku nyaman karena terbiasa. Namun aku membuat kepergiannya meninggalkan bekas dalam penglihatannya. Aku juga membuat kepergiannya meninggalkan bekas di tubuhku.
Kini aku bertanya, apa yang membuat suatu pertemuan menjadi salah? Apa yang membuat dia seharusnya tidak bertemu denganku? Apa yang menghapus rasa nyaman yang biasanya menyelimuti dia dan aku bersama tawa dan lelucon abnormal itu?
Dan kenapa aku tak lupakan saja semua itu? Begitupun kau. Biarlah, biar saja, tak apa.
Jya~
No comments:
Post a Comment
Leave comments would be nice for me :D