Tuesday 28 December 2010

Kali ini, Kami

Ini bukan hanya pikiranku, bukan juga khayalanku.

Hanya bagaimana aku menganggap “kami” begitu indah.

Jauh hari kami persiapkan hari ini. Dari jauh hari pula kami berdebat tentang arah dan tujuan. Hingga akhirnya kami putuskan untuk bertatap muka di tempat kenangan. Di tempat dimana kami memulai semua ini. Memulai semua kegilaan, canda, tawa, dan segala hal yang tak dapat kami prediksikan sebelumnya.

Dia, duduk disana, sendiri menungguku. Lancang kali aku yang pada malam sebelumnya memohon padanya agar menemaniku bersama, tepat jam 8 pagi. Omong kosong, aku baru bangun jam 7 pagi. Akulah orang yang menerapkan asas jam karet paling terkenal di negara ini. Untung saja matahari tak pernah menggunakan jam karet untuk menyapa setiap pagi di negara ini, atau mungkin bukan pagi lagi namanya kalau ia gunakan jam karetnya.

Aku, datang dengan nafas tersengal, namun memaksakan memamerkan cengiran kuda andalanku yang super lebar. Entah apa ekspresinya. Mataku buram. Syukurlah, aku tak lihat alisnya yang mungkin mengkerut karena cengiran maut itu.

Berdua, kami menunggu seorang lagi. Dalam selang waktu yang tak panjang itu aku memperkenalkan diriku kembali padanya. Begitupun dia. Cukup lama mata kami tak bertemu, kurang lebih 2,5 tahun. Tak menyangka, kami tetap sama, dalam beberapa cara. Namun jauh berbeda, dalam lebih banyak cara.

Berdua, kami tak punya hal yang layak untuk diperbincangkan. Tak apa, biar saja. Namun tak pernah kusangka, lidah ini lebih liar dari yang kukira. Lebih spontan daripada otak yang mengendalikannya. Satu, dua, tiga, dan seterusnya topik mengalir tak hentinya dari mulut besarku ini. Tak sadar, ternyata yang kami tunggu telah tiba.

Bertiga, kami dalam sebuah atmosfir aneh, yang tak sengaja kami ciptakan. Tak butuh waktu lebih dari 2 menit untuk merubah atmosfirnya. Kami mulai memasuki gerbang euforia kami. Canda tawa mengalir setiap 20 detik sekali. Betapa indahnya dunia ini. Walau dengan bodohnya, kami belum punya tujuan. Tak apa, biar saja.

Ya, akhirnya kami tetapkan tujuan. Kembali, dengan bodohnya, kami tak tahu arah. Tak apa, biar saja. Biar angin yang membawa kami. Biarkan kemudi itu tak terkendali, membawa kami sesuka hatinya. Berkelok-kelok dihadapan awan yang tak ada malunya menunjukkan keindahan. Membuat aku iri dengan persahabatannya dengan cahaya mentari, yang selalu menciptakan celah indah bersinar.

Cukup sudah! Seberapa jauh kita berjalan? Mesin ini terbunuh, terbakar, berteriak. Tak juga kami sampai tujuan. Tak juga kami tahu arah. Apa kami perduli? Tidak. Karena kami lebih meng-adakan rasa. Rasa bahagia saat kami bersama. Penuh dengan sindiran, berbagai hal konyol dan tak penting. Namun selalu memanggil tawa yang membahana.

Sampai akhirnya, setelah kami mendaki cukup tinggi, tibalah kami di titik kejenuhan. Jenuh akan tersesat. Cukup sudah! Lebih baik kita bertanya. Tapi malu bertanya sesat di jalan bukan peribahasa yang cocok bagi kami. Aku lebih suka ”malas bertanya sesat di jalan”. Itu jauh lebih cocok untuk kami.

Setelah mendaki gunung kejenuhan, mengarungi lautan kelelahan, kami tiba di tujuan. Lekatnya hal-hal bodoh di tubuh kami tak mau lepas, kini kami bertanya-tanya, apa yang harus kami lakukan. Tak apa, biar saja. Kami putuskan untuk masuk dan berkeliling tanpa tujuan yang jelas.

Dari sini ke sana, dari sana ke sini. Tak ada yang menarik. Sampai akhirnya mereka membawaku ke suatu tempat. TIDAK! ITU BUKAN BATU! TIDAK! Bukan hanya onggokan daging biasa. Bukan! ITU KOMODO! TIDAAAAAK!

Bersyukurlah aku tidak menangis, atau akan kulempar kalian dengan batu! Namun kuakui harus kuucapkan terima kasih pada kalian. Jangan tanya padaku terima kasih itu ditujukan untuk apa. Aku juga tak tahu, tak peduli. Tak apa, biar saja.

Bosan disitu, kami pergi. Bertemu saudara-saudara dan teman lama kami. Tak kami sangka kini mereka begitu anggun di tempat-tempat tinggi itu. Bersama dedaunan dan semak belukar. Namun aku senang berada disini. Mereka mirip kami! Hahaha. Dan salah satu dari mereka mirip teman kami. Kami tak bermaksud apapun, kami hanya memiliki pemikiran yang sama. Tak apa, biar saja, tak dosa.

Aku, maaf, kami lapar. Kami mencari-cari tempat dimana cacing-cacing di perut kami bisa merasakan kebahagiaan. Mengenaskan, tak ada yang layak. Maksudku, tak layak untuk kantong kami. Ehm, maaf, seingatku kami tak punya kantong saat itu. Baiklah, tak layak untuk dompet kami.

Salah satu dari kami berkata bahwa sedari tadi ada banyak pasang mata yang tertuju pada kami. Kami? Tidak perduli. Biarkan saja mereka pandang kami. Lalu memangnya kenapa? Toh kami sudah mengaduk-aduk diri kami dalam adonan euforia dosis tinggi ini. Tak akan perduli juga tentang apa yang sedang dan akan terjadi. Kami hanya bahagia.

Tak punya tujuan dan tak tentu arah. Kami hanya berkeliling disana seperti bocah yang dibuang di tengah gurun Sahara. Sampai akhirnya kami lelah dan beristirahat. Kami terduduk lelah, lalu menikmati angin yang berhembus. Dibarengi dengan suara penjinak anjing yang sangat kubenci. Siapa yang bilang itu suara penjinak anjing? Temanku.

Ya, temanku yang duduk di atas sebuah makam yang mengatakannya. Itupun tak dia sadari sampai akhirnya kami memberitahunya bahwa ia meduduki makam Monalisa dan Juminten. Tak kusangka sebuah legenda bersemayam di tempat seperti ini. Dia hanya tertawa dan terus menduduki segala kepalsuan itu.

Yasudah! Kita pulang saja! Biarkan kaki ini lemas berjalan. Lemas untuk berjalan ke pintu keluar.

Bersama kami terkurung disini. Terkurung dalam tawa dan lelucon gila. Kadang masuk akal, kadang tak sampai ke logika, kadang sedikit dewasa. Itu semua karena desahan mautku, yang mengacaukan konsentrasi mereka. Maaf, aku tak bermaksud begitu.

Betapa rindunya kami pada hari ini. Kami harus menunggu 2,5 tahun untuk merasakan betapa bahagianya setiap detik yang kami lalui bersama hari ini. Bersama alunan musik yang kami tak kenal.

Tapi, sangat disayangkan bahwa waktu tak bisa dihentikan. Kami harus berpisah. Melepaskan ikatan yang menyatukan tangan kami dalam genggaman kebahagiaan. Dalam ikatan bodoh yang selalu membawa tawa yang menggemparkan otak kami.

Malam dan waktu yang memisahkan kami hari ini. Tak apa, biar saja. Kami akan melakukan hal-hal bodoh lagi di lain hari. Hingga kami pergi, terpisah, dan meninggalkan bekas dalam ingatan kami. Bahwa kami saling menyayangi, dalam bentuk sayang yang seindah-indahnya.

Hari ini, kenangan, tawa, kami.

GUE SENENG HARI INI!!!!!!

Jya~

Friday 24 December 2010

Up and Down, and UP AGAIN!

Rabu, 22 Desember 2010

Hari ibu. Ya, dan gue bangun kesiangan. Gue bangun jam 10 pagi, pokoknya bangun-bangun gue langsung ngeloyor ke dapur. Meluk nyokap gue dan ngucapin "selamat hari ibu". Tapi kata nyokap gue gini "telat bener lu ngucapinnya". Hahaha, gue cengar-cengir aja abis itu nyari makanan.

Eh, ga nyangka gue pagi-pagi udah ada banyak banget hal nyebelin. Gue sempet pengen banting panci pas lagi nyuci piring, cuma ga jadi soalnya tetangga gue punya bayi. Gue ga tega kalo bayinya kena infeksi telinga gara-gara denger suara berisik -__-

Ga lama kemudian Sasa sms gue, katanya mau ke rumah gue. Asik daaaah, gue udah seneng tuh.

Setelah Sasa nyampe, kita ngobrol-ngobrol dan becanda-becanda sebentar. Abis itu gue ajak jalan-jalan naik Bobby aja. Pas lagi asik jalan-jalan, tiba-tiba bokap gue telepon. Gue kira bokap gue mau tanya apa. Taunya bokap nyuruh gue ke Taman Ismail Marzuki cepet-cepet soalnya gue dapet tiket gratis nonton drama musikal Laskar Pelangi. Gue tanya Sasa mau ikut apa enggak, dan jelas dia mau banget ikut. Kita udah kesenengan aja.

Pokoknya kita buru-buru berangkat kesana. Karena pertunjukannya mulai jam 7 malem, sedangkan saat itu udah jam 3.30 sore. Panik lah gue, udah gitu gue ga tau jalan pula kesana. Kata bokap sih gue suruh naik bis sampe gambir abis itu naik bajaj ke TIM. Tapi gue sama Sasa mikir bakalan lebih cepet kalo naik busway. Akhirnya gue tanya sama kenek bisnya, katanya sih kita suruh turun di Ratu Plaza, trus langsung naik busway darisana dan turun di depan TIM. Okelah.

Sesampainya di Ratu Plaza, kita langsung ke halte buswaynya. Kita tanya-tanya sama mbak yang jaga loketnya.

Kita: mbak, ada busway yang ke arah TIM ga?
Mbak: nggak ada tuh.
Kita: waduh.. kalo yang ke deket-deket situ ada ga?
Mbak: nggak ada juga tuh dek.
Kita: oh, yaudah deh makasih ya mbak.
Gue: MAMPUS SA!

Sialan banget kan tuh kenek bis, kita dibikin nyasar! HUAH!
Jadinya kita nyari taksi buat ke TIM, mana lama banget lagi. Udah gitu pas dapet taksi, eh macet banget. Ampun deh, gue udah pengen teriak-teriak aja.

Sesampainya di TIM, gue keliling nyari temen bokap gue yang katanya mau ngasih tiket gratis. Pas udah ketemu orangnya, gue kaget banget. Soalnya kata tante-tante itu, gue harus bayar 100ribu. OMAYGAT, gue ga bawa duit bray! Gue sama Sasa udah speechless dan panik banget. Gue langsung lapor bokap, dan bokap nelpon temennya itu. TERNYATA si tante itu cuma ngerjain gue doang, eh gile gue udah panik aja.

NAH, akhirnya nontonlah gue drama musikalnya. Lumayanlah, gue dapet tiket VVIP seharga 750.000 DENGAN GRATIS DAN NONTON BARENG SASAYAYANG :*

Gue kira bakalan cuma 2 jam, ternyata dramanya tuh 3,5 jam braaaay! Lama banget >_<
Tapi ya keren banget lah, kocak pula hahaha. Puas pokoknya gue jalan bareng Sasa, ngebolang, nyasar, lari-lari, ngos-ngosan bareng, dan endingnya gue nginep di rumah Sasa. Padahal tadinya Sasa yang mau nginep di rumah gue, eh malah jadi kebalik. Hahahahaha.

Ini dia tiketnya, maap yak gambarnya burem, kameranya jelek sih hehe
Jya~

Wednesday 22 December 2010

Dalam Kata

Ini hanya pikiranku.

Hanya bagaimana aku menceritakan tentang dia dan aku. Bukan, bukan kami ataupun kita.

Siang ini panas, panas sekali. Namun aku hanya berkutat di dapur, mencari-cari makanan, barangkali ada sesuatu yang layak makan. Hingga akhirnya deringan telepon genggamku membuyarkan pikiranku, lamunanku mungkin.

Hanya sebuah pesan singkat. Benar-benar singkat, karena memang hanya dua kata. Dua kata yang biasa terlontar darinya, seperti nyanyian burung di pagi yang cerah. Tak repot-repot, aku membalasnya dengan dua kata yang sama artinya.

Entah apa yang terjadi, apa yang telah dia dan aku lakukan hingga akhirnya kita menelusuri jalan bersama. Tidak ada kesunyian memang, dia dan aku saling berbagi lelucon. Cerita tentang beberapa temanpun sempat singgah menjadi topik.

Dia dan aku terus, terus, dan terus menenggelamkan diri dalam euforia dua manusia yang tertawa bersama. Melupakan udara yang pengap disekitar. Tak juga memperhatikan manakala disampingku ada beberapa pasang mata yang mengawasi.

Hingga akhirnya butiran-butiran kecil air jatuh dari langit. Menepis lapisan debu tipis di atas jendela di depan matanya, juga mataku. Bukan mata kami. Lalu udara berubah sejuk. Membuatku tertawa kecil karena senang. Tak juga dia mendengar tawaku, karena dia dan aku memang menganggapnya bukan keadaan.

Sempat dia menantangku. Aku pun tak takut dengan tantangan-tantangannya. Bukan berarti aku berjiwa pemberani atau apa. Hanya saja aku tak peduli. Biar saja, tak apa. Toh, belum tentu sebulan sekali dia dan aku berbagi suara.

Hingga dia dan aku melewati batas teritori dan memasuki daerah baru. Tak tahu apa yang akan dia dan aku lakukan disana. Berbagi lelucon? Lagi?

Pada akhirnya memang itu yang dia dan aku lakukan. Bercerita tentang pengembaraan dan berbagai hal lainnya yang tak penting juga untuk dia ataupun aku dengar. Namun biar saja, tak apa. Gelak tawa yang biasa mungkin sudah jadi basi. Biar saja, tak apa. Toh dia dan aku tak akan pernah tahu apakah tawa yang mungkin sudah basi itu asli atau palsu.

Berpindah lagi kami ke lain tempat, tempat tinggi yang bagai tak berbatas. Aku senang berada disana, dan juga dia, ternyata. Aku selalu suka langit, atau awan? Bukan yang putih, atau yang biru. Aku suka berbagai perpaduan warnanya. Ungu dengan semburat keemasan, maupun biru yang ditimpali warna putih yang berarak. Bagaimana dengan kelabu? Aku juga suka.

Sembari duduk bersama, dia dan aku membayangkan berbagai hal yang tidak masuk akal. Sungguh tak masuk dalam akal pikir orang yang normal. Namun selalu saja diakhiri dengan tawa yang menggelegar. Dia dan aku tak peduli, walaupun disana ada seseorang yang memperhatikan gerak-gerik dia dan aku. Entah orang itu berpikir apa, yang jelas aku hanya menyikapinya dengan tawa kecil dan cengiran selebar mulut kuda.

Cukup lama kuhabiskan waktu bersamanya disana, akhirnya aku mengajaknya pergi. Dengan gontai dia dan aku berjalan beriringan, memasuki kembali sebuah teritori yang bertembok tinggi. Dia dan aku dikepung! Dan saat itu juga baru kusadari, ternyata perubahan ekspresi dalam wajahku sangat jelas terlihat. Hampir saja wajahku merah dibuatnya. Tapi biar saja, tak apa.

Kembali dia dan aku tenggelam dalam kisah-kisah dan berbagai rencana gila. Hingga akhirnya aku terus berpikir, kapankah semua ini kembali normal? Atau setidaknya, adakah hal normal yang seharusnya dapat dia dan aku perbincangkan? Mungkin tidak. Yasudah biar saja, tak apa.

Tiba-tiba aku melakukan kesalahan fatal. Inilah pembicaraan normal bagi orang normal, namun paling abnormal bagi dia dan aku. Aku sangat berharap aku dapat menarik kembali kata-kataku, lalu menghapus ingatannya. Sayangnya, ini bukan dunia khayalan.

Aku terlanjur mengatakannya dan dia terlanjur mendengarnya. Lanjutkanlah pembicaraan ini, mumpung belum basi. Sampai akhirnya aku membiarkan dia tau apa pikiranku. Sampai akhirnya aku membiarkan dia tau bahwa aku sudah tau apa pikirannya. Sampai akhirnya aku membuat dia dan aku menyesal.

Namun tak ada yang berguna, karena sudah terlewat sekian variabel dan sekian koefisien. Sekarang dia dan aku hanya saling tau kalau dia dan aku memang sekarang sudah tau tentang yang satu itu. Memang tak berguna, itu dosa besar bagiku.

Sempat aku memintanya untuk melupakan apa yang telah dia dan aku bicarakan tadi. Namun sialnya dia hanya menyuruhku melupakannya, dan aku tak tau apakah dia berniat melupakannya atau hanya akan membiarkan pembicaraan sampah itu mengendap di otaknya.

Sudahlah biar saja, tak apa. Tak rela aku katakan kalimat itu.

Dan sekarang, dia pergi. Meninggalkan aku dalam sebuah daerah yang membuatku nyaman karena terbiasa. Namun aku membuat kepergiannya meninggalkan bekas dalam penglihatannya. Aku juga membuat kepergiannya meninggalkan bekas di tubuhku.

Kini aku bertanya, apa yang membuat suatu pertemuan menjadi salah? Apa yang membuat dia seharusnya tidak bertemu denganku? Apa yang menghapus rasa nyaman yang biasanya menyelimuti dia dan aku bersama tawa dan lelucon abnormal itu?

Dan kenapa aku tak lupakan saja semua itu? Begitupun kau. Biarlah, biar saja, tak apa.

Jya~

Saturday 18 December 2010

Is This All About Achievment?

Tadi gue bagi rapot.
And it should have not surprised me. BUT, I never thought about this one.
Karena gue udah tau nilai-nilai gue, jadi gue pikir gue ga akan kaget, apalagi khawatir. Jadi gue ngerasa gue bakal duduk di kursi di depan penasihat akademik gue lebih sebentar. No, big NO.
It took a-not short-time.

Alhamdulillah, indeks prestasi gue naik. Nilai gue lulus semua. Gue bersyukur banget.
Semuanya berkat pertolongan dari Allah SWT, kalo bukan karena kemurahan hati-Nya, mungkin gue ga akan kayak gini.

Again, BUT, gue bener-bener shock. TERNYATA, hasil try out juga dibagiin.
That's it! GILA AJA NILAI TRY OUT MATEMATIKA GUE 2,40!!!!

Gue cuma bisa cengar-cengir di depan penasihat akademik gue.

That's not nice, neither even good.

Jya~

Saturday 11 December 2010

Kebo Males

Ambil saja semua bahagia, biar kau puas
Lalu sisakan aku sedikit dahaga
Ambil saja semua yang kupunya, biar kau lepas
Lalu sisakan aku sedikit warna

Yang ada hanya hujan dengan dinginnya
Walau disana ada langkah kaki tanpa suara

Bunuh saja semua rasa
Tusuk saja aku di kepala

Walau disini ada bayangan kelabu
Walau disini ada rasa yang binasa

Apa yang tak akan ada?
Rasa percaya


Yak, setelah segala pergulatan batin menghadapi UAS dan Try Out akhirnya gue ketemu hari Sabtu. Walaupun harusnya hari Sabtu gue PM, tapi udah 3 minggu gue ga PM karena sakit. Nggak nyangka, keadaan kayak gini bakal sebegitu ngaruhnya buat kesehatan gue.

Hari ini gue ga ngapa-ngapain. Bangun jam 8 pagi cuma buat sarapan, abis itu tidur lagi sampe jam 1. Itu juga gue bangun gara-gara dipaksa nyokap gue. Trus jam 2 gue makan, niatnya sih abis itu mau tidur lagi. Tapi ternyata ada temen gue yang dateng, akhirnya kita malah ngobrol-ngobrol.

Gue bener-bener sedang hibernasi. Setelah belajar mati-matian (ga mati-matian juga sih) dan kurang tidur, akhirnya hari ini gue resmi jadi kebo males. Haha, gapapalah, belum tentu sebulan sekali juga gue kayak gini.

Gue ga sabar nunggu liburan. Kok rasanya lama banget yah? Padahal gue juga ga tau mau ngapain pas liburan. Gue cuma capek aja, dan tentunya jenuh.

Haaaaah, udahlah Ay. Gausah banyak mengeluh.

Jya~

1716

Hari Jumat, tanggal 3 Desember yang lalu temen gue ulang tahun. Sehari sebelumnya, tanggal 2 Desember temen gue ulang tahun. Si pemilik hari ulang tahun tanggal 3 ini namanya Della, sedangkan yang tanggal 2 namanya Shella.

Gue udah temenan sama mereka sejak SD. Tapi kayaknya baru deket pas kelas 5 atau 6 gitu. Dulu tuh kita udah kayak sekumpulan anak ilang yang kabur dari panti asuhan... oke, cukup sebar aibnya -__-

Lalu kenapa judulnya 1716? Karena gue dan temen-temen gue mau ngerayain ulang tahun 4 orang. Dua orang ulang tahun yang ke 17, dan dua lagi yang ke 16. Walaupun yang ulang tahun ke-16 ini udah telat banget -__-

Intinya, hari Jumat itu gue, Della, Shella, dan satu lagi namanya Shaby merencanakan sebuah pesta ulang tahun kecil-kecilan. Setelah sebuah rapat dadakan yang hasilnya mutlak dimenangkan oleh gue karena yang lain emang nggak ngasih pendapat, maka ditentukanlah TKP (Tempat Kejadian Pesta)-nya di rumah gue. Tepatnya di kamar gue. Ya, benar sekali saudara-saudara. Di kamar gue yang sempitnya kayak kertas dibelah 12.

Jadi sehari sebelumnya kita udah ngerencanain mau beli kue di sebuah toko kue di daerah Ciledug (biar gaul). Tapi berhubung gue ada urusan nonton Harry Potter dulu, jadinya yang beli si Della sama Shella. Ternyata, pas udah sampe disana mereka nggak suka tampilan kue-nya. Akhirnya mereka memutuskan pergi ke rumah gue dan ngajak gue nyari kue.

Hunting Kue Tart

Gue, Shaby, Della, Shella udah ngumpul. Udah siap cabut ke CBD. Kenapa kita milih ke CBD? Karena BIAR GAUL GETHOO CBD-lah yang paling deket. Oke, sesampainya di CBD kita pengen langsung ke Carrefour aja. Tapi waktu baru turun dari eskalator, di hadapan kita ada stand jualan kue tart gitu. Langsung aja kita samperin. Gue dan Della udah ber-"iiiih lucu" berkali-kali. Shella nyari-nyari kue yang cocok, dan Shaby (kayaknya) heran ngeliatin gue sama Della norak-norakan.

JREEEENG, ada kue black forest yang tampilannya lumayan bagus dan ukuran yang pas. Lalu gue langsung ngajakin yang lain beli yang itu aja. TAPI, pas ngeliat harganyaaaaaaa... gue langsung bilang "eh, liat yang di Carrefour aja dulu yuk, ehehehe". Muka gue yang nyengir kuda itu ternyata keliatan banget dan Shaby ngetawain gue.

Sesampainya di Carrefour kita langsung nyari kue tart. Ketemu! Nah, yang ini lumayan nih. Harga standar, ukuran standar, rasa juga standar -__-.

TAPI (lagi), kali ini bukan masalah harga, ukuran, atau rasa. Melainkan model. Kita ber-empat punya pendapat yang beda. Ada yang mau full coklat lah, ada yang mau ada buahnya lah, ada yang mau kue yang banyak krimnya, ada juga yang malah pengen rasa tiramisu.

"yang ini aja nih, lucu banyak buahnya" gue dengan nyolotnya ngomong.
Shella nimpalin "ah enggak ah, yang ini aja, coklatnya banyak".
Della ga mau kalah "mendingan yang ini, ada putih-putihnya. Masa coklat semua?"
Shaby dengan tenang ngomong "udah, yang tiramisu aja ya. Eh, lu ga suka tiramisu ya Del? yaaaah..."

Ternyata Shaby kalah sebelum bertarung.
15 menit lebih kita disitu, bingung mau milih kue apa. Berbagai cara udah kita pake buat nentuin kue mana yang bakal kita beli.  Dari mulai cap-cip-cup belalang kuncup, gambreng, suit, sampe voting.

KENYATAANNYA, gue cape dan langsung nyerocos "udahlah, kita beli pizza aja trus bikin spaghetti sendiri". Yang lain langsung setuju. YAELAH DARITADI KEK KAYAK GINI. Akhirnya untuk kue tart buat tiup lilin, kita pake kuenya Della yang dikasih sama temennya. HADOH, REPOT YEK.

Proyek Masak Spaghetti

Setelah memutuskan untuk membeli spaghetti dan memasaknya sendiri, otomatis kita keliling nyari spaghetti. Oke, ketemu rak spaghetti ketemu masalah baru.

"eh spaghetii-nya yang mana nih? yang bungkusnya plastik apa yang kardus?" gue meminta pendapat.
Shaby-pun angkat bicara "udah yang kardus aja, biar murah". Della-pun meng-iyakan.
Shella ngotot "ih, yang plastik aja biar banyak, kalo yang kardus mana cukup".
"cukup lah Shell, emang lu mau makan sebanyak apa sih?" Shaby rusuh.
"gue laper, belum makan daritadi, hahahaha" Shella ga mau kalah.

Tanpa peduli percakapan mereka, gue ngambil spaghetti yang bungkusnya kardus. Murah.

"eh sausnya pake saus apa?" Della nanya.
"saus bolognese aja, biar gampang" gue menjawab santai.
"nggak ah, bolognese ga enak. Bumbunya nyengat banget, gue ga suka" Shaby protes.
Gue, Della, Shella menentang pendapat Shaby "enak kooook, enak. Udah tenang aja". Shaby kesel.

Pas gue mau ngambil saus bolognese-nya, gue nanya lagi "woy, mau yang rasa ayam, jamur, apa daging nih?". Tapi yang lain kebingungan. Lalu salah satu diantara mereka nyeletuk "goblok lu Ol, itu kan saus makaroni". Anjrit, malu gue. Akhirnya setelah itu Della nyari bolognese-nya, dan ketemu.

Keju. Sekarang nyari keju. Pas sampe di tempat keju, si Shella udah rusuh aja. "eh, kejunya apa nih? Kraft, Cheddar, apa Prochiz?". "yang murah aja, yang murah apaaa?" sahut gue. Tiba-tiba Shaby ngomong "keju Moo aja, cuman tiga rebu". KITA SETUJU.

Pas mau ke kasir, tiba-tiba Della ilang. Panik, kita langsung nyariin. Eeh, tiba-tiba dia nongol dengan membawa minuman sampel dari SPG. Dia teguk sendiri dengan nikmat sampe habis. Kita langsung sewot, abis dia ga bagi-bagi. Sambil sok ngambek, kita jalan lagi ke kasir. Dan Della ilang lagi. Eeeeh, nongol lagi dia. Dengan membawa minuman sampel yang baru. TERNYATA DIA MINTA LAGI SAMA MBAK-MBAK SPG-NYA. Ampun deh -__-

Tahap Pemilihan Pizza

Setelah belanja di Carrefour, kita langsung ngibril ke Pizza Hut. Yang notabene ada di sebelah CBD. Nyampe di Pizza Hut, kita langsung nyamperin mbak-mbaknya. Karena kantong tipis, kita milih beli paket delight aja.

Sudah diduga, kita rusuh lagi di Pizza Hut. Bingung mau milih pizza yang mana. Setelah nyolot-nyolotan dan tanya-tanya pendapat mbaknya akhirnya kita beli deh. Oke, sekarang tinggal nunggu aja pizzanya jadi trus langsung cabut ke rumah gue.
Tiup Lilin Rusuh

Adek gue yang liar itu ternyata tau gue daritadi pergi untuk beli makanan. Dia rusuh sampe nangis-nangis minta kue tart. Padahal kita aja mau nyiapin tiup lilin dulu. Sumpah adek gue bikin bete banget.

Acara tiup lilin berjalan dengan tidak khidmat. Tapi setelah acara tiup lilin, yang biasa terjadi memang terjadi: cemongin muka orang dengan krim.

Setelah potong kue dan segala macem, kita foto-foto, makan pizza, dan ngakak-ngakak bareng. Ada juga beberapa foto skandal gue sama Della yang sangat kontroversial.

Makan Spaghetti

Ga nyangka, setelah makan kue tart dan pizza si Shella masih laper. Dasar anak cacingan kali yah, makannya banyak banget tapi ga gendut-gendut. Nah gue? Makan banyak gendut, ga makan langsung sakit. Hadoh, susah bener.

Setelah ricuh di dapur, makan spaghetti sambil foto-foto, ternyata ada satu foto yang horror. Ada foto gue lagi berhadapan sama Shella, tapi di sebelah gue ada "mata" yang lagi melototin Shella. Pas gue kasih tau ke anak-anak yang lain, mereka ketakutan dan maksa gue untuk ngapus foto itu.

Acara Foto Skandal

Setelah semua acara makan selesai, kita foto-foto. Mumpung Della lagi nyolong SLR kakaknya, hehehe. Semua fotonya blur, kecuali yang ada muka Shella-nya. Ga nyangka kamera juga milih-milih orang cantik buat difoto.Haaah  -___-

Karena gue capek nulis, gue pengen upload beberapa foto aja deh. Sebelumnya gue minta maaf ya soalnya post kali ini panjang bukan kepala (emang bukan kepala) *jayus.

ini waktu tiup lilin (liat tuh lilinnya 1716)

setelah kue-nya dizolimi oleh 4 bocah beringas (kelaparan) -__-
*note: yg nongol di ujung itu kakinya Della

skandal! 

nah ini baru bener! v_v

Yaudah deh, udah malem gini gue ngantuk.

Happy birthday for us!
Wish us all the best!
Longlast yaaaa :)

Jya~

Thursday 9 December 2010

Untitled

"Aku udah tau dari dulu kok"
"Kenapa kamu ga pernah bilang sama aku? kenapa?"
"Ma..maaf.."
"Zan, kamu tuh kenapa sih? Aku heran kenapa semuanya serba bohong."
"Benci. Aku benci kamu sejak 964 hari yang lalu. Sejak aku pertama kali ketemu dan kenal kamu."

***

"Kampret lu, kerjain aja sendiri kalo ga bisa baca tulisan gue!"

Kalimat pertama yang kudengar di awal hariku saat memasuki kelas baru. Tak kusangka, seorang anak perempuan yang duduk di depan meja guru yang melontarkannya. Aku terkejut, namun lebih memilih untuk tak perduli. Tetap saja aku melengos, mencari bangku yang kosong walaupun sekian pasang mata menatapku heran. Mungkin aku dikira salah masuk kelas. Mungkin juga aku memang salah masuk kelas.

Ini memang hari pertamaku di sekolah ini. Walaupun ini hari ketiga bagi orang-orang di kelas ini. Ya, kalian memang tak salah sangka. Aku murid baru di sekolah ini. Tolong jangan tanya apa alasanku pindah ke sekolah ini, aku cukup sensitif. Mudah-mudahan aku tak menyesal pindah ke sekolah yang kualitasnya satu tingkat di bawah sekolahku semula. Amin.

Bel masuk berbunyi. Seseorang menghampiriku. Awalnya aku kira dia ingin mem-bully-ku karena aku anak baru. Ternyata tidak. Dia ketua kelas. Yang aku heran adalah, kenapa dia tidak memperkenalkan dirinya ataupun menanyakan namaku, melainkan dia memberitahuku kalau aku wajib bayar uang kas kelas sebesar dua ribu rupiah seminggu. Murah sekali, pikirku.

Tak lama kemudian seorang guru datang. Dia lalu meng-absen murid-murid di kelasku. Setelah nama Zainudin dipanggil, guru itu menatapku tajam. Kupikir karena wajahku yang terlihat bodoh, duduk di bangku paling belakang, dan memakai seragam sekolah lain. Responku saat dia menatapku: membuka senyuman selebar galon, memamerkan gigi sambil mengeluarkan suara ha-he-ha-he. Jelas akan merusak image-ku.

***

Jya~

Monday 6 December 2010

Scare, Fear, Afraid, or Whatever!

Ya, gue takut.

Ga bisa dipungkiri gue takut akan aliran waktu. Aliran waktu yang ga bisa gue hentikan. Beda dengan aliran listrik. Selama gue bisa menghentikan aliran elektron, gue bisa menghentikan arusnya. Dengan begitu gue ga akan kesetrum (kenyataannya gue udah kesetrum 2x, DUA KALI!). 

Please, gue beneran takut. Gue bener-bener ngerasa belum bisa apa-apa. And you know what, sekarang udah bulan Desember. UAN dan segala macam tetek-bengeknya itu akan terjadi di bulan Maret. Lihatlah, berapa bulan waktu yang tersisa? Hitung sendiri!

Gue takut banget. Gue belum menguasai matematika, fisika, kimia, biologi, dan saudara-saudaranya. Gue ga mau berakhir konyol sebagai orang yang kalah. NGGAK, ga mau. Apa gunanya selama ini gue capek-capek berusaha?

Oke, gue keinget kata-katanya Gisel yang tentang sekolah itu bukan cuma sebuah sistem untuk meraih prestasi. Gue paham, gue ngerti. Tapi "prestasi" itu adalah sebuah hal yang buat gue ga bisa dikesampingkan juga.

Gue bingung. Gue udah berusaha keras untuk mencapai sebuah titik prestasi. Tapi kenapa, kenapa hasilnya ga memuaskan? Apa yang salah? Gue kenapa? Gue nggak seharusnya begini.

Setidaknya, jatuhkan aku ke satu tingkat di bawahnya.

Gue takut banget ga bisa memenuhi harapan orang tua gue. Gue sayang banget sama mereka dan gue nggak mau banget ngecewain mereka.

Please, Ya Allah, tolong aku. Apa yang harus aku lakukan?

Haaaah, thankfully selama ini gue bukan tipe orang yang stress berat gara-gara hal gituan. Gue tetep ketawa, bercanda, dan jail sama temen-temen gue seperti biasa. Dan terlebih lagi gue bersyukur punya temen-temen yang bisa bikin gue ketawa layaknya manusia normal lainnya.

Jya~